Jumat, 04 April 2008

Rezekinya orang menikah

Dalam kebudayaan manapun, pernikahan selalu dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Makanya tidak heran dalam jaman manapun pernikahan selalu dirayakan dengan meriah, penuh simbol kesejahteraan, kesetiaan dan panjang umur. Pernikahan selalu dianggap momen yang sakral yang bahkan dalam beberapa kebudayaan dianggap sebagai momen kedewasaan seseorang.

Dulu, waktu masih bujang, nasihat yang paling sering saya dengar seputar pernikahan -tentunya dari orang yang sudah menikah- adalah
“Tenang aja Jar, kalau sudah menikah, rezekinya pasti dimudahkan”
Klise mungkin, dan biasanya nasihat susulannya adalah
“InsyaAllah kalau sudah menikah hati jadi lebih tenang”

Karena saya orang eksakta, logika saya bilang tidak masuk akal. Ya, bagaimana mungkin rezeki lebih mudah, bukankah dibelakang kita ada cicilan KPR, biaya pernikahan, biaya A, biaya B yang rumit. Atau bagaimana bisa tenang, lha wong sebagai suami artinya kita bisa tidak sebebas bujang dahulu. Belum lagi tuntutan masyarakat dan keluarga. Pusing.

Tapi, setelah dijalani ternyata semua nasihat diatas ada benarnya. Tapi, saya tidak akan bercerita bagaimana rezeki yang orang menikah dapatkan karena tentunya parameternya sangat sulit. Contoh, setelah menikah pekerjaan saya dikantor lebih baik, project lebih besar, tim lebih solid sampai urusan menulis pun menjadi lebih lancar, teman menjadi lebih banyak hingga urusan rumah, prasarana fisik yang ajaibnya lebih dimudahkan daripada dugaan saya semula.

Tapi, itu semua sulit diukur kan. Karena nasihat lengkap seputar pernikahan diatas adalah
“Rezeki itu ga selalu berbentuk uang Jar, bisa jadi ada saudara yang membantu, bisa jadi bos kamu memberikan kesempatan lebih baik. Intinya Jar, rezeki itu bisa dateng dari tempat yang tidak terduga”
Nah karena sifatnya yang abstrak ini, saya kesulitan untuk mendapatkan pembenaran nasihat pernikahan tadi.

Kalau menurut saya, rezeki yang pasti didapatkan orang menikah adalah:
1. Wibawa
Wibawa, kharisma, aura, kehormatan, percaya diri atau apapun istilahnya, menurut saya adalah 100% guarantee dari orang yang sudah menikah. Buat saya, apalagi dalam bisnis jasa (professional service) yang saya kerjakan, masalah wibawa ini menjadi sangat penting. Pekerjaan assurance service, tidak lebih dari bagaimana meyakinkan orang lain.

Beberapa kali saya berbicara dengan banyak orang, mulai dari supir kantor hingga GM setempat. Impresi yang saya dapatkan terhadap orang yang sudah menikah selalu impresi yang sangat positif, artinya setengah pekerjaan sudah selesai dimuka.

2. Tanggung jawab
Punya pasangan artinya punya tanggung jawab lebih, artinya kemampuan kita memimpin, kemampuan kita berempati juga akan lebih baik. Ilustrasi yang paling mudah menggambarkan kondisi ini serupa dengan mobil sport. Mobil sport sekelas Porsche ataupun Audi selalu didesign dengan pemberat dibagian belakang mobil. Mobil yang dipacu dengan kecepatan tinggi harus diberi pemberat (wing) dibagian belakang agar mobil bisa berpijak ditanah dan melaju kencang.

Rumah tangga mungkin seperti itu, dengan adanya ‘beban’ istri atau suami. Ajaibnya justru membuat laju kehidupan kita lebih stabil dan lebih baik.

Pertanyaannya, didunia bisnis seperti saat ini dimana karakter adalah segalanya untuk menggapai sukses. Dimanakah posisi pernikahan?
Posted in Pernikahan.

Hmmmm… kalau saya sih setuju dan tidak setuju dengan pendapat anda.

Setuju:
Memang betul, seperti yang anda katakan, menikah dapat membentuk karakter (tidak bisa se-egois kala membujang), pertanggung-jawaban, dan lain sebagainya. Sehingga, karakter ini pun terbawa ke tempat kerja. Tetapi, saya tidak yakin bahwa pembentukan karakter ini semata-mata hanya bisa terjadi karena menikah. Bukankah yang tidak menikah pun karakternya bisa terbentuk? Ini tergantung pribadi masing-masing tentunya?

Juga, memang di mata manusia, ketika seseorang sudah menikah, terkesan hidupnya sudah stabil (apalagi di kebudayaan timur). Sehingga di tempat bekerja, efek psikologis dari rekan kerja, lebih mempercayai seseorang yang sudah menikah (seperti yang anda sudah katakan, terkesan ‘positif’).

Tidak setuju:
Dengan analogi anda. Masalahnya, dari pengalaman yang saya pernah lihat sendiri, justru karena menikah, karir dan pendapatan harus dipertimbangkan dengan si istri. Maksudnya, tidak bisa sefleksibel dalam berpindah antar kota, jauh dari istri dalam jangka lama, dan lain sebagainya. Sehingga, di kasus ini, analoginya menjadi: ‘Si istri bak truk gandengan yang membuat perjalanan lebih berat’

Kesimpulan: saya kurang setuju dengan ukuran menikah atau tidak menikah sebagai ukuran baik atau tidak baik (rezeki atau non-rezeki). Memang harus diakui, di kebudayaan timur, pandangan ini masih sangat kuat (bahwa menikah tentunya jauh lebih baik)

Seperti dari tulisan anda, opini anda dalam hal ini tentunya sangat dipengaruhi atas lingkungan anda (orang tua) dan agama?

Catatan: Tidak ‘pick a fight’ tentunya, hanya ingin mengundang para pembaca berpikir lebih luas lagi ;)

Tidak ada komentar: