Kamis, 07 Februari 2008

Tambah Canggih, Tambahlah Iman

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini makin pesat. Banyak orang yakin bahwa berbagai persoalan yang selama ini rumit dan sulit untuk dipecahkan, akan mampu terjawab.
Dahulu, untuk berkomunikasi dengan orang lain, seseorang misalnya harus memukul kentongan. Selangkah lebih maju, kemudian ditemukan alat tulis dan kertas. Dari situ orang bisa berkorespondensi. Lalu muncul telegram, telepon, dan terakhir ini yang sedang menjamur adalah hand phone dan internet dengan berbagai variannya. Pendek kata, apa yang dahulu mustahil ada, kini mewujud di tengah-tengah masyarakat manusia dengan aneka rupa produk.
Inilah data dan fakta yang ada. Dan inilah kenyataan yang harus diterima. Tidak ada alasan untuk menghindari dari kenyataan tersebut. Kemajuan adalah sebuah keniscayaan, yang tidak bisa dibendung.
Yang menjadi pertanyaan, patutkah manusia mabuk dengan segala kemudahan dan fasilitas material itu? Patutkah manusia terlena karenanya—apalagi menganggap inilah syurga—sehingga mulailah tumbuh dalam diri manusia sikap tidak membutuhkan apa yang dinamakan bantuan Tuhan? "Kenikmatan puncak sudah di tangan, lalu buat apa keterlibatan Tuhan," pikirnya. Akibatnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala dipandang dengan sebelah mata. Ini adalah sebuah jalan yang keliru.
Padahal sesungguhnya kita begitu lemah. Bahkan kita tidak dapat bergerak tanpa seizin-Nya. Seluruh organ tubuh kita, gerak panca indera, air, udara, dan unsur-unsur daya dukung kreasi kita seperti otak, daya imajinasi, dan lain lain, bukan milik kita dan sedikit pun kita tidak menguasainya. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah yang Maha Tinggi dan Agung.
Satu hal yang hendaknya kita garisbawahi, bahwa berbagai fasilitas yang ada dimaksudkan untuk memudahkan, bukan untuk merusak. Jelasnya, bila kemajuan ilmu dan teknologi tidak menambah dekat kita kepada Allah, maka kemajuan yang terjadi sesungguhnya sekaligus bermakna kemunduran. Maju di aspek material, namun perlahan lari dari nilai keilahian. Ini sungguh berbahaya.
Bila ikatan ketuhanan telah tercerabut dari diri manusia, inilah sumber kehancuran yang sebenarnya. Sifat kemuliaan manusia akan diganti dengan sifat-sifat kehewanan yang liar dan merusak, yang rakus dan tidak pernah merasa cukup. Selanjutnya yang akan mucul bukan nilai-nilai utama insaniyah seperti kejujuran, kebersamaan, dan kemaslahatan bersama, tetapi kecenderungan merusak dan memancaatkan orang lain untuk dirinya.
Allah berfirman, "Dan bila dikatakan kepada mereka. ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami (adalah) orang-orang yang mengadakan kemaslahatan.’" (Al-Baqarah: 11).
Manusia jenis ini sangat membahayakan. Banyak korban yang berjatuhan, tetapi dengan kemampuannya membungkus-bungkus, banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah jadi korban.
Lebih lanjut Allah mengingatkan, "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat dari perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin." (At-Takatsur: 1-5)
Secara eksplisit mungkin kita belum mengatakan, buat apa Tuhan? Namun dalam sikap dan tindakan kita—yang mungkin kita dapat mengukurnya—jangan-jangan telah cenderung ke arah sana. Tenggelam dalam kenikmatan semu dunia, hingga melalaikan Tuhan.
Semestinya semakin bertambah tingkat kemajuan, semakin meningkat pula nilai syukur dan keimanan kita.

Tidak ada komentar: